Irwan Ferdiansyah, merupakan alumni program studi Teknik Nuklir, Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Saat ini Irwan terpilih sebagai Qualified Student oleh Japan Society of Mechanical Engineers (JSME) bersama 14 mahasiswa (S1 s/d S3) lainnya se-Asia untuk berlomba dengan 60 mahasiswa terpilih lainnya sedunia dalam 19th International Conference on Nuclear Engineering (ICONE) yang diadakan oleh JSME, ENS, ASME, dan CNS serta bekerja sama dengan IAEA pada 16-19 Mei 2011 di Makuhari, Jepang. Pada konferensi tersebut, Irwan akan melombakan hasil penelitiannya yang berjudul Radiological Consequences Analysis for Postulated LBLOCA on PWR 1300 at Muria Peninsula yang merupakan hasil kerjasama dengan Pusat Teknologi Reaktor dan Keselamatan Nuklir-BATAN pada awal tahun 2010.
Selain itu, pada bulan November 2010, Irwan berhasil meraih Golden Award dari Tokyo Tech Indonesian Commitment Award yang diadakan oleh Tokyo Institute of Technology (TITECH). Sebagai mahasiswa, Irwan juga aktif menjadi asisten pengajar di beberapa mata kuliah sejak September 2009 sampai saat ini serta menjadi asisten peneliti di beberapa proyek penelitian terkait keselamatan dan energi. Di luar kesehariannya sebagai mahasiswa Teknik Nuklir, Irwan juga aktif dalam kegiatan kepemudaan dan pendidikan. Pada bulan Maret 2009, Irwan mewakili Indonesia dalam Educational and Cultural Affairs (ECA) Workshop di Johns Hopkins University guna meyakinkan pihak U.S. House of Representatives dan U.S. Senate tentang pentingnya kontinyuitas alokasi dana untuk pembelajaran antarbudaya melalui pemberian beasiswa bagi para pelajar dan mahasiswa di negara berkembang.
Berikut adalah tulisan Irwan Ferdiansyah yang dimuat dalam http://inspirasi.ugm.ac.id
Aku Tidak Heran, Karena Ini Universitas Gadjah Mada
“Bermimpilah semaumu, tapi jangan lupa untuk cepat bangun dan mengejar mimpi tersebut.”
-Tubagus Tirta Sutirta-
INSPIRASI DAN TOKOH
Kutipan di atas bukanlah keluar dari ucapan seorang tokoh besar di Jawa atau seorang pejuang kemerdekaan pada masa penjajahan Belanda. Kutipan tersebut berasal dari seorang pendidik yang telah melepaskanku dari keterbelakangan pengetahuan dan pesimisme. Ya, dialah Bapakku, seorang pejuang yang mengantarkanku duduk di Universitas Gadjah Mada (UGM). Hari ini, aku memberanikan diri untuk menulis cerita tentang kampus biru dan transformasi yang telah dibawanya padaku. Biru dikarenakan pengalaman ini akan selalu menjadi tempatku memandang cita-citaku kelak, layaknya langit yang berada di atas. Biru dikarenakan harapan akan perbaikan bangsa ini ada pada generasiku, layaknya samudera yang harus kujelajahi. Biru dikarenakan romantisme perjuangan dalam mengukir cita-cita sebagai mahasiswa yang berasal dari keluarga yang belum pernah menginjakkan kakinya di perguruan tinggi. Walaupun aku pernah mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar ke Amerika Serikat sewaktu SMA, tetapi tetap saja dunia kuliah merupakan hal baru bagiku, bahkan bagi keluargaku.
MINGGU, 19 AGUSTUS 2010
Masih teringat saat pertama kali menginjakkan kaki di lingkungan UGM sebagai mahasiswa asal Karawang yang baru pertama kali ke Yogyakarta. Sudah terbayang suasana masyarakat Jawa yang ramah dan murah senyum. Namun, kenyataannya memang tidak terjadi seperti itu saat perjalanan pertama kali naik bis. Ditipu harga tiket, tidak diberi tempat duduk, dan diturunkan sekitar jam 5 pagi di suatu Pasar yang kemudian aku ketahui di daerah Kutoarjo. Hasilnya, aku pun lanjut naik bis bersama para pedagang bunga dan menikmati keharuman bunga-bunga segar yang baru mereka petik. Sungguh pengalaman yang patut kusyukuri. Sesampainya di Jogja, banyak hal yang mulai membuatku nyaman. Mulai dari lingkungan masyarakat, harga makanan dan minuman, letak kos dengan kampus, dan berbagai kemudahan lainnya. Mungkin, hal inilah yang menciptakan keramahan Jogja bagi mahasiswa baru.
Ada kebanggaan tersendiri ketika memakai jas almamater UGM, selain ketidakjelasan penggolongan warnanya, jas ini juga sepertinya tidak memiliki “kembaran†dengan universitas lain. Berbicara tentang warna jaket almamater yang sering susah digolongkan, saya pun iseng- iseng mencari alasan dibaliknya. Ternyata sejarahnya tidak sembarangan. Pada saat awal berdirinya UGM memang masih masa-masa sulit, bahkan Indonesia masih dijajah. Kondisi rakyat sangat memprihatinkan, bahkan sampai muncul trend pakaian yang terbuat dari karung goni. Dengan beberapa pertimbangan, akhirnya para civitas UGM pun memilih warna jas almamater yang hampir sama dengan pakaian goni yang dipakai oleh rakyat masa itu sebagai bentuk solidaritas dan kebersamaan. Mungkin itu salah satu alasan mengapa UGM disebut universitas yang merakyat. Aku pun merasa beruntung bisa berada di lingkungan pendidikan ini dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Aku masuk UGM dikarenakan mendapatkan beasiswa SPMB, yang pada saat itu karena alasan ekonomi hampir saja tidak bisa merasakan pendidikan di Universitas. Akhirnya hari itu sebagai anak kelima, aku pun menjawab doa orang tuaku yang menginginkan ada anaknya yang bisa kuliah. Di sinilah saya merasakan keberuntungan serta tanggung jawab yang besar sebagai satu-satunya orang di keluarga yang bisa merasakan kuliah di universitas terbaik bangsa ini.
TEKNIK NUKLIR UGM
Sebuah program studi yang sudah aku cita-citakan bersama sahabatku sewaktu SMA pun aku dapatkan. Dengan kejadian unik saat hari pertama masuk kelas, yang sampai hari ini masih sering tertawa lucu karena mengalaminya, aku pun menjadi Ketua Angkatan Mahasiswa Teknik Nuklir 2007. Program studi S-1 yang hanya satu-satunya di Indonesia ini telah menjadi bagian pengalaman pembelajaranku. Pertemanan, persaingan, dan impian di dalamnya mengajarkan berbagai hal tentang semangat dan cita-cita anak bangsa untuk mensejahterakan bangsanya. Belajar di kampus ini mengajarkan tentang optimisme dan kepercayaan diri ketika orang lain meragukannya, bahkan saat mayoritas orang di negaraku meragukan akan eksistensinya. Namun, keyakinan bahwa apa yang aku pelajari ini untuk hari esok yang lebih baik merupakan perjuangan yang tidak boleh terhenti hanya sampai matahari terbenam di sore hari.
Aku pernah memimpin rombongan kelasku melakukan studi ekskursi ke tiga lokasi BATAN (Badan Tenaga Nuklir) yang berlokasi di Yogyakarta, Bandung, dan Serpong. Mungkin bagi beberapa orang, studi ekskursi ini biasa, tapi tidak bagi kami. Ini merupakan studi ekskursi mahasiswa pertama yang kami kelola sendiri dengan perjuangan yang sangat mengesankan. Di sinilah, aku belajar dari jiwa mahasiswa UGM yang solid dan optimis. Dalam merencanakan studi ekskursi ini kami dihadapkan pada masalah dana yang cukup besar. Oleh karena itu, selain iuran pribadi, kami pun mencari sumber dana lainnya. Mulai dari berjualan stiker, pin, kaos, koran bekas, mengajar di bimbingan belajar SMA, mengajukan proposal ke alumni, sampai mengamen di sekitar Jalan Kaliurang sudah kami lakoni. Bisa saja semua biaya tersebut kami dapatkan dari hasil iuran pribadi (atau dalam hal ini dari orang tua), tetapi bukan itu yang kami cari. Kebersamaan dan perjuangan dalam meraih impian inilah yang ingin kami rasakan. Hal inilah yang membuat perjalanan studi ekskursi kami meninggalkan pengalaman berharga dan kesan tersendiri bagi tiap mahasiswa. Hal yang sama pun, aku inisiasikan dengan membuat proyek yang lebih besar cakupannya yaitu mengunjungi PLTN dan magang di institusi di Jerman pada Juni 2010. Dukungan dan semangat dari pihak Jurusan maupun Universitas membuat kami terus maju, walaupun di satu sisi kami pun sadar akan tantangan besar yang harus dihadapi. Terlepas dari ketidakberangkatan seluruh anggota pada program ini, kami pun sukses mendapatkan kesempatan tawaran magang di MaxPlanck Institute dan Fraunhofer Institute. Aku merasa bangga pernah bersama-sama berjuang dalam meraih cita-cita yang kami sendiri takut untuk meraihnya. Melihat timbulnya semangat dari teman-teman mahasiswa lainnya untuk menantang diri mereka akan impian yang besar adalah hal yang patut disyukuri karena tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa orang hanya akan bersikap pesimis ketika menghadapi impian besar seperti ini, bahkan mungkin hanya jadi lelucon. Mungkin benar kata beberapa pakar bahwa salah satu hasil penjajahan terbesar yang masih melekat adalah pada pola pikir: memandang diri sendiri rendah dan tidak mampu meraih mimpi yang besar. Oleh karena itu, kami pun merasa bahwa program ini telah sukses memberikan pelajaran dan proses perjuangan yang berguna saat ini dan di kemudian hari.
BUKAN SEKEDAR AKADEMIK SEMATA
Jika memang ada penggolongan minat mahasiswa mengenai kegiatannya di luar jam kuliah, mungkin aku bisa digolongkan sebagai mahasiswa yang tidak aktif mengikuti kegiatan resmi organisasi di lingkungan Fakultas Teknik UGM. Hal ini bukan dikarenakan aku anti kegiatan yang berhubungan dengan organisasi di kampusku sendiri, tetapi lebih kepada minat dan pengalaman seperti apa yang aku ingin miliki. Bersyukurlah bahwa universitas ini tidak mewajibkan mahasiswanya satu pun untuk mengikuti salah satu organisasi tertentu, sehingga pengembangan minat mahasiswa bisa disalurkan sesuai pertimbangan mahasiswa sendiri sebagai kaum intelektual yang sudah paham akan makna kebebasan yang bertanggung jawab.
Sejak SMA, aku pun memiliki keinginan antara belajar di Teknik Nuklir atau di Hubungan Internasional (HI). Saat SMA kelas 1 aku berpikir jika belajar di HI akan banyak kesempatanku jalan-jalan ke luar negeri dan mungkin bisa jadi diplomat. Ya, itulah pemikiran polosku waktu SMA. Namun, setelah pulang dari Amerika dan melanjutkan studi di kelas 3 SMA, aku menyadari bahwa “jalan-jalan†ke luar negeri bukan alasan yang bijak untuk menentukan minat dan masa depanku. Walaupun aku senang belajar berbagai bahasa, menemui banyak orang, tinggal di tempat yang baru, serta membahas isu-isu nasional dan internasional, tetapi akhirnya aku lebih memilih mendaftar sebagai mahasiswa Teknik Nuklir. Namun, setelah beberapa kuliah di sini, saya pun bisa membedakan mana hobi dan keinginan. Aku menyadari keinginanku adalah belajar dan berkarir di bidang sains dan teknologi, sedangkan mempelajari berbagai isu internasional dan berada pada forum diskusi ilmiah mengenai budaya, sosial, diplomasi, hukum, dan pendidikan merupakan bagian dari penyaluran hobi semata.
Dalam menikmati tahun pertama dan kedua kuliah, aku memutuskan untuk mempelajari lebih banyak hal di luar kelas, bahkan tidak secara langsung berhubungan dengan latar belakangku sebagai mahasiswa teknik nuklir. Aku pun mengambil keputusan tersebut dengan pertimbangan bahwa materi kuliah masih tidak terlalu memberatkan dan aku pun tidak terlalu mentargetkan untuk mendapatkan IPK sempurna selama kuliah ini. Akhirnya aku bergabung dengan beberapa organisasi baik di dalam maupun di luar kampus. Aku pun sadar bahwa kewajiban utamaku adalah menjadi mahasiswa teknik nuklir sehingga organisasi bukanlah prioritas utama, tapi hal ini tidak menyebabkan aku setengah hati mengikuti organisasi. Jika aku sudah berkomitmen terhadap sesuatu, maka aku sadar akan tanggung jawab yang harus diemban. Namun, percayalah, konflik pilihan antara menjadi mahasiswa di dalam kelas atau organisasi di luar kelas pun pernah aku hadapi bahkan mengganggu keduanya, walau sebaik apapun aku membaginya. Oleh karena itu, aku belajar untuk siap menghadapi ketidaksiapan diri.
Tahun pertama, aku mengikuti organisasi bernama EDS-UGM, sebuah organisasi yang fokus pada debat parlementer dalam bahasa inggris sebagai pengantarnya. Aku belajar tentang berpikir kritis dan menyampaikan argumen dari berbagai perspektif. Membahas isu-isu di luar sains yang kadang berbentrokan dengan prinsip hidup maupun keyakinan membuatku berpikir untuk menempatkan diri di posisi orang lain dengan paradigma yang berbeda. Dari sinilah sebenarnya aku mendapati arti toleransi dan pemahaman terhadap pola pikir orang lain. Dua tahun bersama organisasi ini, mampu meningkatkan kepercayaan diriku untuk berargumentasi di forum ilmiah yang aku ikuti, selain teman-teman debater yang memberikan pengalaman yang berharga tentunya.
Selain itu, aku pun bergabung dengan organisasi kepemudaan Yogyakarta bernama Peace Generation, sebuah tempat di mana aku belajar mengenai nilai-nilai perdamaian dan resolusi konflik di kalangan pemuda. Mungkin terdengar cliché jika membahas tema ini karena pada awalnya pun aku bingung mengapa perdamaian perlu dipelajari, salah satunya hal ini karena aku pikir bahwa perdamaian hanya akan berada pada tataran teoritis semata. Namun, dari sinilah aku belajar tentang Indonesia dan multikulturalisme. Aku belajar dari banyak teman yang berasal dari latar belakang pendidikan, daerah, pengalaman, dan pandangan yang berbeda mengenai perdamaian. Juni 2008, aku mewakili organisasiku ini pada International Youth Forum yang membahas pencapaian Millenium Development Goals (MDGs). Forum tersebut berlangsung selama satu minggu dan dihadiri perwakilan pemuda dari 32 negara dan beberapa duta muda PBB. Fokus dari forum itu adalah membuat suatu rekomendasi untuk PBB dari pemikiran para pemuda yang dibagi ke dalam 8 bidang bahasan sesuai MDGs. Salah satunya adalah mengenai sustainabilitas lingkungan dan energi yang menjadi perhatianku.
Sebagai mahasiswa penerima beasiswa SPMB, aku masuk UGM dengan tidak membayar sepeser pun dan mendapatkan bantuan biaya hidup untuk tahun pertama. Namun, untuk tahun kedua dan seterusnya aku harus berjuang sendiri. Sungguh disayangkan aku tidak bisa mendaftar beasiswa yang sering ada di UGM karena persyaratan yang sedikit tidak sesuai denganku, Surat Keterangan Tidak Mampu. Aku bukan berasal dari keluarga yang berada, tetapi juga tidak bisa digolongkan sebagai orang tidak mampu karena Bapakku masih bekerja. Walaupun gajinya tidak seberapa, tetapi tetap saja tidak bisa digolongkan sebagai keluarga yang layak mendapatkan surat tersebut. Oleh karena itu, bapakku pun tidak memperbolehkanku ikut beasiswa yang mensyaratkan hal tersebut. Ini bukan dikarenakan ego atau malu, tetapi masih banyak orang yang berhak mendapatkannya. Namun, sungguh disayangkan ternyata banyak sekali orang yang kukenal berada, bermotor, berlaptop, dan bergaul dengan café malah membuat surat tersebut dan mendapatkan beasiswa tersebut. Ya, inilah salah satu hal yang perlu diperbaiki kita bersama. Akhirnya, daripada mendaftar beasiswa aku memilih untuk bekerja paruh waktu atau sekedar freelance. Selain bekerja menjadi penerjemah Inggris-Indonesia maupun mengajar Bahasa Inggris, aku juga pernah bekerja sebagai hospitality officer di Kantor Urusan Internasional UGM selama satu tahun. Pekerjaannya mengasyikkan dan bertemu dengan banyak tamu UGM dari berbagai universitas, baik dalam maupun luar negeri. Selain itu, aku juga bisa ikut mengunjungi beberapa objek wisata di Jogja ini sambil bekerja.
Selain kedua organisasi tersebut, AFS atau Yayasan Bina Antarbudaya adalah lembaga nirlaba yang aku sudah ikuti semenjak semester pertama sampai sekarang, walaupun secara jabatan kepengurusan sudah berakhir pada September 2010. Lembaga ini bergerak di bidang pendidikan, terutama melalui pertukaran pelajar SMA. Refleksi dari pengalamanku mengikuti program serupa, aku pun ingin ikut berkontribusi dalam pendidikan Indonesia mulai dari sekarang. Oleh karena itu, aku dengan sukarela meluangkan waktu dan tenagaku guna menyukseskan program lembaga ini guna memberikan kesempatan bagi siswa-siswi SMA di Jogja untuk mengikuti program pertukaran pelajar ke luar negeri selama setahun setelah melewati semua rangkaian seleksi, di mana beasiswa penuh bisa mungkin didapatkan. Pada tahun 2009, aku mendapatkan kesempatan mengikuti beberapa program berbeda di Amerika Serikat. Program pertama adalah pelatihan menjadi seorang trainer di Washington DC. Di sinilah aku mempresentasikan isu mengenai kurangnya sistem reorientasi bagi penerima beasiswa ke luar negeri di Indonesia yang membuat beberapa alumni merasa “tidak nyaman†di negara sendiri dan hal ini mendapatkan sambutan luar biasa dari seorang mantan petinggi program Fulbright. Pada tahun yang sama, aku pun pernah berperan sebagai session facilitator pada seleksi pelajar SMA asal Amerika Serikat(AS) yang ingin mengikuti beasiswa pertukaran pelajar ke beberapa negara mayoritas muslim di Asia dan Afrika. Seleksi selama tiga hari ini bertempat di Houston, Texas, dan dihadiri oleh puluhan finalis dari berbagai SMA di AS. Menjadi bagian dari seleksi ini merupakan bukan hanya berupa pengalaman menjadi panitia semata, tetapi juga belajar dari mereka sebagai pemuda yang masih SMA dan selalu optimis akan pencapaian sesuatu. Selain itu, aku juga pernah mengikuti ECA (Educational and Cultural Affairs) yang dilaksanakan oleh Deparlemen Luar Negeri AS yang bertempat di Johns Hopkins University. Acara tersebut pada dasarnya merupakan suatu forum yang mempertemukan lembaga-lembaga pendidikan informal yang bekerja sama dengan AS. Ya, begitulah beberapa acara yang aku ikuti sebagai pembelajaranku di luar materi kuliah sebagai mahasiswa teknik nuklir. Memang terdengar terlampau jauh dari bidangku, tetapi aku memahaminya bukan sebagai suatu hal yang tidak bermanfaat bagi studiku karena aku percaya dan menemukan bahwa semuanya itu berguna bagi perkembangan softskill yang sering dikumandangkan oleh para civitas akademika.
AKU PULANG
Setelah dua tahun pertama kuliah disibukan oleh banyak sekali urusan di luar kuliah, aku pun memutuskan untuk meluangkan porsi waktu lebih banyak untuk kuliah. Memang tidak bisa dipungkiri, selama mengikuti banyak program ke luar kota atau ke luar negeri membuatku sering kali absen kuliah. Bahkan, jika melihat ke belakang, aku bisa izin tidak kuliah beberapa minggu bahkan sampai dua bulan. Dari Jurusanku sendiri tidak terlalu mempermasalahkan ketidakhadiran mahasiswa di kelas, tetapi pastinya hal ini berakibat pada kemerosotan beberapa nilai mata kuliah karena ada kuis, ujian, dan presentasi yang sering aku terpaksa tinggalkan. Jadi berbagai macam nilai dari A, B, C, D, dan E pernah saya dapatkan, Secara pribadi aku tidak menilai prestasi pembelajaranku dari nilai yang aku dapatkan. Namun, hal itu tidak serta-merta membuatku mengabaikan kuliah dan mendapatkan nilai yang baik. Hal ini aku buktikan dengan menyelesaikan berbagai tanggung jawabku di luar kampus dan kembali menjadi mahasiswa teknik nuklir seutuhnya. Bisa dibilang baru mulai Semester 5 aku menekuni kuliahku secara penuh. Hal ini berkaitan dengan mulai spesifiknya materi yang diberikan dan menuntut aku meluangkan waktu lebih banyak untuknya. Hal ini bukan berarti aku menutup diri dari urusan di luar kampus karena aku pun tetap bekerja sebagai koordinator HRD di AFS Jogja pada saat itu. Namun, memang aku juga mengejar perbaikan nilaiku karena tidak bisa diabaikan juga bahwa syarat IPK akan menjadi salah satu faktor penting untuk mengikuti seleksi awal apapun yang biasanya berdasarkan dokumen. Melalui semangat dan keseriusan dalam mengejar ketertinggalan, akhirnya dalam waktu dua semester, aku pun bisa merasakan jadi mahasiswa cum laude. Yang pada dasarnya, hanya sejumlah angka yang berbeda saja
Setelah masuk Semester 5, barulah aku merasakan kebutuhan prioritas untuk mendalami bidang keahlianku ini karena aku tidak ingin lulus sebagai Sarjana Teknik Nuklir yang terkenal karena mengikuti berbagai acara kepemudaan internasional di bidang sosial. Namun, aku ingin lulus dan dikenal sebagai Sarjana Teknik Nuklir UGM yang memiliki kompetensi di bidangnya. Memang kesempatan seperti penelitian, seminar, dan perlombaan yang berhubungan dengan kenukliran itu dimulai semenjak duduk di semester 3, tetapi aku masih merasa belum berkompeten walau hanya sekedar ikut-ikutan. Oleh karena itu, ketika sudah mulai masuk ke konsentrasi di bidang reaktor nuklir, barulah aku mulai aktif mengikuti berbagai seminar nasional dan bahkan memasukkan hasil penelitianku selama di BATAN untuk dipresentasikan pada seminar nuklir nasional. Aku pun mulai aktif menjadi asisten beberapa dosen dan menjadi asisten pengajar di beberapa mata kuliah. Selain itu, aku pun terlibat berbagai proyek Jurusan baik sebagai asisten maupun sebagai pelaksana.
Saat ini, aku berada di Semester 7, masih ada beberapa mata kuliah yang harus aku selesaikan. Di samping itu, aku pun sedang berjuang menyusun Tugas Akhir (TA) yang aku ajukan sendiri. Ya, memang sedikit rumit ketika mengajukan tema sendiri dibandingkan mengikuti proyek yang ditawarkan oleh dosen. Namun, aku ingin TA ini menjadi hasil kerja keras terbaikku selama menjadi mahasiswa di UGM. Dalam mengerjakannya, banyak sekali tantangan yang harus dihadapi, mulai dari materi yang sebagian besar belum aku pahami, peralatan yang tidak tersedia di Indonesia, sampai pada dana penelitian yang cukup menggila.
“There is only one thing that makes a dream impossible to achieve: the fear of failure.“
The Alchemist by Paulo Coelho
Mengenai tantangan tersebut bukanlah sesuatu hal yang akan menjatuhkan mentalku, karena pada dasarnya aku suka tantangan. Setelah melalui proses yang memakan waktu, tenaga, dan pikiran, akhirnya aku pun memasukkan proposal penelitianku untuk suatu kompetisi bernama Tokyo Tech Indonesian Commitment Award, sebuah kompetisi penulisan proposal riset yang diadakan oleh mahsiswa pascasarjana di Tokyo Institute of Technology. Aku pun bersyukur bahwa aku menjadi pemenang utama, Golden Award, dan berhak menerima sejumlah dana untuk penelitianku ini. Sungguh besar anugerah ini. Aku pun bisa melanjutkan mimpiku untuk menyelesaikan rencanaku, meneliti ke Swedia pada bulan Februari-Maret 2011. Semoga semuanya berjalan dengan lancar dan aku pun bisa menyelesaikan TA ini dengan memuaskan.
LIFE AFTER UGM
Tahun 2011, hanya tinggal hitungan hari.Banyak rencana dan impian yang ingin aku wujudkan setelah UGM. Namun, satu momen penting yang aku tunggu pada tahun ini, yaitu hari di mana aku memakai pakaian toga. Ya, wisuda. Itulah momen penting bagi keluargaku karena akan merayakan anggota pertamanya yang berhasil mengukir sejarah pendidikan di keluargaku. Semoga Merapi tidak lagi “mengamuk†dan wisuda pun bisa dilaksanakan. Hal ini, bukan hanya jadi momen penting untuk bagi mereka, tetapi juga sarana rekreasi bagi mereka untuk bisa menikmati keindahan kota Yogyakarta dan kampusku tercinta. Ya, seluruh keluargaku akan menghadiri wisudaku. Kedua orang tua, empat kakak, empat kakak ipar, enam keponakan, dan bahkan kedua orang tua angkatku dari Pennsylvania-Amerika Serikat akan datang untuk ikut merayakan kelulusanku. Dari sini, aku hanya ingin menekankan bahwa pendidikan telah memberikan harapan besar bagi perubahan suatu individu dan juga keluarganya. UGM sebagai tempat di mana hampir 10.000 mahasiswa baru setiap tahunnya menggantungkan kepercayaan dan harapan akan hari esok yang lebih baik telah memberikan kesempatan yang luas untuk belajar dan mengembangkan potensi. Hal ini, aku sendiri mengalaminya. Ketika aku sadari perjalanan kuliahku selama ini, telah mendidikku menjadi manusia yang belajar untuk terus bersyukur akan nikmat yang telah diterima.
Aku pun tidak terlalu khawatir akan misteri hari esok ataupun tahun selanjutnya. Entah aku berada di suatu perusahaan, entah aku berada di suatu universitas ternama di dunia, atau aku menjadi seorang pegawai negeri. Yang jelas, aku sudah memiliki rencana ke depan dan tentu saja mengejar cita-cita selanjutnya karena itulah yang membuatku terus bersemangat.
“I’m afraid that if my dream is realized, I’ll have no reason to go on living.“
The Alchemist by Paulo Coelho
Ini merupakan tahun akademik terakhirku di UGM. Di kota penuh makna, Yogyakarta. Banyak hal yang tidak mungkin bisa tergantikan dari kota pelajar ini. Semua perjuangan selama tinggal di sini, akan aku simpan sebagai suatu kekuatan mengejar cita-citaku. Semua yang kutulis saat ini hanyalah caraku untuk berbagi kisah, bukan bermaksud untuk menciptakan kesombongan atau menempatkan diri sebagai mahasiswa inspiratif, karena aku yakin banyak dari teman-teman mahasiswa yang mengalami perjuangan serupa. Mungkin prestasi yang lebih tinggi pun pernah diraih teman-teman. Aku tidak heran, karena ini Universitas Gadjah Mada. Harapan bangsa ini untuk generasi yang meneruskan cita-cita bangsa di kemudian hari. Bangsa besar yang mampu mensejahterakan rakyatnya seperti cita-cita pendahulu bangsa. Hal ini hanya akan terbentuk jika kita optimis dan terus berusaha untuk hari esok yang lebih baik.