Pada hari Sabtu, 16 Oktober 2021, Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika UGM menyelenggarakan Talk Show EMISSION 1.0. EMISSION sendiri merupakan kegiatan yang mengupas tentang seluk beluk dunia Fisika Medik dan aplikasinya. Pada kegiatan EMISSION yang pertama, tema yang dibawakan adalah “Apa itu Fisika Medis dan Bagaimana Cara Menjadi Fisika Medis?” dan ditujukan bagi mahasiswa Teknik Nuklir yang akan mengambil peminatan, siswa SMA, serta umum. Diharapkan dengan adanya talk show ini, peserta mendapatkan gambaran mengenai keilmuan dan prospek kerja di bidang Fisika Medik baik di dalam maupun luar negeri dari narasumber yang berpengalaman. Dalam pelaksanaannya, acara tersebut dihadiri oleh setidaknya 150 orang yang bergabung melalui Zoom dan 60 orang yang bergabung melalui Youtube Live Streaming di Channel DTNTF UGM. Latar belakang peserta sangat beragam, di antaranya siswa setingkat SMA, Guru SMA, mahasiswa Fisika, Teknik, dan Farmasi, Fisikawan Medis, serta lainnya yang berasal dari berbagai kota di Indonesia. Hingga saat ini, video talkshow tersebut telah diputar sebanyak 470 kali.
Acara diawali dengan sambutan dari Ketua Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika, Dr. Ir. Alexander Agung, S.T., M.Sc. yang menjelaskan bahwa teknologi nuklir mempunyai banyak manfaat di bidang kesehatan, industri, pertanian, dan lainnya. Dengan semakin diperlukannya SDM yang menguasai teknologi nuklir untuk bidang medis baik untuk diagnosis maupun terapi, Program Studi Sarjana Teknik Nuklir membuka peminatan Fisika Medik. Beliau berharap, talk show ini dapat memberikan informasi sebanyak-banyaknya bagi peserta. Acara kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab dengan narasumber. Terdapat lima narasumber yang berdiskusi baik dengan moderator (Cecilia Nova Wijaya, TN 2018) maupun peserta.
Narasumber yang pertama adalah Dr. Ir. Andang Widi Harto, M.T. Beliau mengawali penjelasannya dengan menjelaskan mengenai reaksi nuklir dan membandingkan antara energi yang dihasilkan dari reaksi nuklir dengan reaksi kimia biasa Energi nuklir yang besar ini dalam dosis yang tepat dimanfaatkan untuk misalnya untuk pembangkit listrik, menghancurkan sel tumor, sterilisasi makanan, modifikasi genetika tumbuhan maupun hewan. Kelebihan dari pemanfaatan energi nuklir untuk tujuan sterilisasi misalnya, yaitu dapat membunuh bakteri tanpa meninggalkan residu kimia. Begitu pula untuk aplikasi radioterapi, teknologi nuklir tidak juga tidak meninggalkan residu kimia seperti halnya kemoterapi. Menurut beliau, perkembangan teknologi nuklir di Indonesia masih dalam taraf pengembangan. Sebagai contoh, pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sampai saat ini masih belum ada. Akan tetapi ke dapan PLTN diharapkan menyumbang 900 GWe dalam bauran energi nasional yang proyeksinya disumbang oleh ratusan PLTN yang tersebar di seluruh Indonesia.
Aplikasi teknik nuklir untuk medis mendominasi dalam ketegori bidang teknologi nuklir non-energi, Bahkan menurut BAPETEN, proyeksi ke depan, peralatan radiasi untuk medis akan digunakan sampai rumah sakit tingkat kabupaten. Untuk rumah sakit tingkat provinsi, jumlah alat tersebut akan semakin ditingkatkan jumlahnya mengingat semakin banyak pula kasus kanker di Indonesia. Jenis radiasi yang dipakai untuk terapi pun berkembang, tidak hanya radiasi foton, tetapi juga proton (Proton Therapy), neutron (Boron Neutron Capture Therapy), Heavy Ion (Heavy Ion Therapy), dan lainnya. Seiring dengan fakta tersebut, kebutuhan Fisikawan Medik juga meningkat. Lulusan Teknik Nuklir diharapkan mengisi kebutuhan SDM tersebut.
Secara umum, menurut Bapak Andang, tantangan penerapan teknologi nuklir untuk menjawab permasalahan di Indonesia di antaranya pertama berkaitan dengan kuantitas SDM dan peralatan. Kedua, tantangan lain berkaitan dengan pengembangan teknologi, tantangan adalah ke arah peningkatan efisiensi dan akurasi sistem nuklir medis (misalnya akselerator yang dipakai untuk radioterapi dan siklotron untuk produksi radioisotop untuk radiodiagnostik). Tantangan ketiga adalah pendidikan profesi Fisikawan Medik masih terbatas. Tantangan terakhir, pengembangan teknologi nuklir masih didominasi dari luar negeri, dimana peralatan radioterapi dan radiodiagnostik hampir semua impor. Oleh karena itu, Program Studi Teknik Nuklir diharapkan mencetak lulusan yang mampu mengembangkan rancangan alat, komponen dan pendukung, hingga industri sistem nuklir medis yang merupakan karya dalam negeri.
Dalam closing statement-nya, Bapak Andang memaparkan mengenai cara untuk menghilangkan stigma negatif dari nuklir seperti bom atom. Di antaranya adalah mempromosikan bahwa teknologi nuklir aman dengan pengembangan reaktor mikro dan aplikasi non-energi terutama bidang medis yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat. Bapak Andang juga memotivasi peserta yang ingin menekuni bidang ini karena prospek kerjanya yang masih luas.
Narasumber yang kedua adalah Prof. Dr. Wahyu Setia Budi, S.Si. Sebagai ketua Aliansi Institusi Pendidikan Fisika Medik Indonesia (AIPFMI), beliau terlebih dahulu menjelaskan definisi Fisika Medis dan Fisikawan Medik, dimana Fisika Medik adalah penerapan Fisika pada kedokteran klinis dan orang yang melakukan pekerjaan ini disebut sebagai Fisikawan Medik. Beliau menjelaskan lebih lanjut bahwa tahapan yang harus dilalui untuk menjadi seorang Fisikawan Medik hampir sama dengan tahapan untuk menjadi seorang dokter, mengingat FM juga merupakan salah satu tenaga kesehatan yang diakui di Indonesia. Tahapan tersebut yaitu pendidikan dasar, pre-klinik, dan klinik. Mahasiswa Teknik Nuklir maupun Fisika yang ingin menjadi Fisikawan Medik harus mengambil peminatan Fisika Medik dengan mata kuliah pilihan yang berkaitan, di antaranya adalah Fisika Pencitraan, Proteksi Radiasi, Praktikum Klinis, dan lainnya hingga lulus minimal 144 SKS. Selanjutnya, pendidikan yang ketiga adalah Pendidikan Profesi Fisika Medik / residensi di rumah sakit selama kurang lebih 1 tahun. Setelah selesai, terdapat ujian kompetensi untuk mendapatkan pengakuan kompetensi dan dapat mengajukan Surat Tanda Registrasi (STR). Saat ini, Pendidikan Profesi Fisika Medik baru ada di 3 universitas, yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Diponegoro (UNDIP), dan Universitas Hasanuddin (UNHAS). Seleksi untuk mengikuti pendidikan profesi ini adalah seleksi administrasi dan ujian tertulis.