International Competition of GreenHack Challenge Hackathon 2024 yang diadakan oleh IPB University dengan dukungan Kampus Merdeka, menjadi ajang bagi mahasiswa untuk turut berkontribusi dalam mengatasi perubahan iklim melalui pelestarian keanekaragaman hayati. Dalam kompetisi ini, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi ditantang untuk menciptakan ide inovatif yang melibatkan kolaborasi lintas sektor, antara lain mencakup pemerintah, LSM, akademisi, pelaku usaha, serta komunitas lokal, guna membangun ekosistem yang tangguh dan mengatasi krisis iklim dengan pendekatan konservasi.
Mengusung tema “Hack Climate Crisis: Strategic Partnerships for Biodiversity Conservation”, kompetisi ini berlangsung secara daring mulai 16 Agustus hingga 6 November 2024 dengan total peserta yang berpartisipasi mencapai 329 peserta yang terbagi ke dalam beberapa tim. Dari sejumlah peserta tersebut, dipilih enam tim terbaik yang selanjutnya diberikan kesempatan untuk mempresentasikan karya mereka pada babak final yang berlangsung pada 7 November 2024.
Salah satu inovasi yang menarik perhatian juri berasal dari tim mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mengusung inovasi dengan judul Sea Turtle Sphere: Enhancing the Yogyakarta 4K Community by Designing an Advanced Conservation Area for Sea Turtle Sustainability. Inovasi ini sendiri terinspirasi dari pengalaman Ghita, salah satu anggota tim, dimana selama mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) ia menemukan fakta menyedihkan bahwa penyu seringkali diburu untuk konsumsi sehari-hari, acara tradisional, ataupun dijual bebas oleh masyarakat. Hal ini jelas bertentangan dengan status penyu yang merupakan hewan terancam punah dan dilindungi oleh Undang-Undang.
Menurut data dari World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia (2023), hanya terdapat 1 dari 1000 telur penyu yang berhasil bertahan hingga dewasa. Faktor utama penyebabnya yakni perburuan dan konsumsi oleh manusia, ditambah ancaman dari perubahan iklim yang berpengaruh terhadap rasio jenis kelamin penyu. Suhu pasir yang lebih tinggi dari 30,9°C cenderung menghasilkan penyu betina, sedangkan suhu di bawah 27,6°C menghasilkan penyu jantan. Ketidakseimbangan ini dapat berdampak serius pada populasi penyu di masa depan.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, tim UGM mengembangkan Sea Turtle Sphere, sebuah area konservasi canggih yang memanfaatkan teknologi mutakhir seperti Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), dan kendaraan otonom. Sistem ini dirancang untuk memantau populasi penyu secara cerdas sekaligus meningkatkan efisiensi upaya konservasi di lapangan.
Dalam realisasinya, proyek ini juga turut melibatkan komunitas lokal, khususnya 4K Yogyakarta, sebagai upaya untuk mewujudkan upaya konservasi berbasis masyarakat. Selain itu, penggunaan kendaraan otonom dalam proyek ini membantu membersihkan sampah di pantai, menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi penyu dan tukik. Dengan kombinasi bioteknologi dan teknologi otonom, Sea Turtle Sphere menawarkan model konservasi yang dapat diterapkan secara luas di berbagai wilayah.
Melalui inovasi ini, tim UGM berhasil meraih predikat sebagai Juara 2, setelah mengungguli ide inovasi dari kelima tim finalis yang lain. Tim UGM berharap dengan inovasi yang telah mereka buat dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan sehat bagi penyu agar dapat berkembang biak dengan baik. Selain itu, proyek ini diharapkan dapat menginspirasi mahasiswa lain, khususnya dari DTNTF UGM, untuk aktif dalam mempublikasikan karya tulis mereka, berkontribusi pada pelestarian lingkungan, serta menciptakan solusi untuk tantangan global yang semakin kompleks.