Jakarta, GATRAnews – Yudiutomo dan Kusnanto sukses menghasilkan radioisotop pengayaan tingkat rendah. Reaktor Batantek di Amerika Serikat akan menjadi reaktor berbahan bakar cair untuk radioisotop. Pertama di dunia. —
Bejo atau beruntung. Begitulah menurut Yudiutomo Imardjoko, merendah. Bersama temannya sedari kuliah, Kusnanto yang kini direktur produksi, mereka dapat membangkitkan PT Batan Teknologi (Batantek) dari mati suri. Dalam waktu singkat, Yudi, Direktur Utama Batantek ini akrab disapa, membawa persero nuklir ini berekspansi radioisotop ke Amerika Serikat (AS).
“Saat ini sampai tahap soal bisnisnya,” ujar jebolan Iowa State University, AS ini. Batantek hendak membangun reaktor di AS bekerjasama dengan Babcock & Wilcox (B&W), perusahaan yang lama berkiprah di bidang energi. Medio Desember ini, Yudi kembali ke AS untuk menindaklanjuti pertemuan awal September lalu.
Kini akan membicarakan partisipasi desain dan porsi saham masing-masing. Batantek menginginkan saham mayoritas 51%. “Kalau nanti terjadi keputusan yang memerlukan voting, Batantek yang memutuskan,” katanya kepada Taufiqurrohman dari GATRA. Wajar jika Yudi tergiur membangun reaktor di AS. Pasalnya, 60% pasar radioisotop dunia diserap oleh AS.
Langkah ini awal untuk menguasai pasar radioisotop dunia. Begitu pentingnya Batantek, bahkan B&W berencana ke Indonesia Januari nanti. Batantek sukses mengisi pasar radioisotop dengan pengayaan tingkat rendah. Para pemain lain masih berkutat pada pengayaan tingkat tinggi. Padahal ke depan, pengayaan tingkat tinggi akan ditinggalkan karena larangan International Atomic Energy Agency (IAEA).
Sesungguhnya jerih payah dua sekawan ini lebih dari sekedar bejo. Mereka mulai dari nol, layaknya orang yang mencari kerja di sebuah perusahaan. Suatu hari di awal 2011, Yudi iseng ke Kementerian BUMN. Di sana ia melihat informasi soal lowongan kerja di Batantek. Yudi yang dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta mencoba peruntungan itu.
Kala wawancara, panitia penerima menanyakan soal posisi yang diincar. “Saya mau jadi dirut. Kalau gak saya gak mau,” kata Yudi di ruang kerjanya, di Gedung 70 Kawasan Puspiptek, Tangerang Selatan, awal Desember lalu. Meski tawaran gaji kecil, Yudi tetap bersikeras masuk. Ia hanya minta diberi kesempatan mengembangkan Batantek.
Saat itu, Yudi mendapat informasi soal keterpurukan Batantek. Izin ditangguhkan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir, 90% peralatan rusak, kerugian Rp 13 milyar, moral karyawan turun karena perusahaan tidak beroperasi meski masih menerima gaji.
Yudi juga memiliki motivasi lain. Sebagai dosen, ia memikirkan nasib mahasiswanya yang akan lulus teknik nuklir. Ia menyayangkan jika Batantek sebagai satu-satunya industri nuklir milik Indonesia harus tutup. “Lah, terus nanti mau kerja di mana mereka,” ujarnya.
Saat fit and proper test itu, Yudi sempat ditanya apakah memiliki teman untuk menjadi direktur produksi. “Oh ada,” spontannya. Ia langsung mengingat Kusnanto, temannya sejak kuliah dan kini di UGM menjadi dosen.
Pada Juli 2011, begitu menjadi direksi di Batantek, persoalan pun menanti. Meski kondisinya mati suri, Yudi percaya Batantek masih bisa bangkit. selama masih ada napasnya. Latar belakang sebagai dosen memberikan arti tersendiri bagi Yudi dan Kusnanto. Di kampus mereka sibuk dengan teori dan riset. “Padahal untuk ilmu teknik nuklir, aplikasi menjadi sangat penting,” kata Yudi. Apalagi dana penelitian teknik nuklir mahal.
Bareng karyawan yang pernah ikut pengembangan radioisotop, Yudi dan Kusnanto pun melakukan riset. “Awalnya saya gak tahu apa yang harus dilakukan,” Yudi mengaku. Mereka pun mencari cara untuk mengembangkan radioisotop dengan uranium pengayaan tingkat rendah. Lalu, akhir November 2011, tim peneliti melapor kepada Yudi, “Pak, jadi Pak.”
Keberhasilan itu menjadi titik awal Batantek kembali memasarkan radioisotop ke klien-kliennya. Kali ini dengan uranium pengayaan tingkat rendah. Padahal para produsen lain masih eksis dengan uranium pengayaan tingkat tinggi, seperti Kanada dan Australia.
Ke depan, Batantek akan melangkah ke reaktor berbahan bakar cair. Yudi meyakini, reaktor masa depan itu adalah yang berbahan bakar cair. Reaktor Batantek kini masih berbahan bakar uranium padat. Kala menjadi dosen, ia sudah meneliti, tapi terbentur dana penelitian.
Perbedaan reaktor nuklir cair dengan padat seperti reaktor Batantek ada pada dayanya. Reaktor Batantek butuh daya 30 megawatt untuk menghasilkan radioisotop sebanyak1.800 curie (ci) per minggu. Sedangkan reaktor berbahan bakar cair hanya butuh daya 960 kilowatt untuk menghasilkan 4.400 ci per minggu.
Karena lebih efisien, maka produknya lebih kompetitif. Apalagi, reaktor berbahan cair ukurannya lebih kecil. “Analoginya, dulu pake desktop kini laptop,” ujar Yudi. Nah, reaktor yang bakal dibangun di AS nanti akan menjadi reaktor berbahan bakar cair untuk radioisotop pengayaan tingkat rendah pertama di dunia. “Rusia pernah bikin, namanya reaktor Argus, tapi memakai uranium pengayaan tingkat tinggi,” ia menambahkan.
Keuntungan kedua dari model reaktor di AS itu, bahan bakarnya hanya butuh diganti 20 tahun sekali. Sedangkan reaktor Batantek setiap tahun harus ganti bahan bakar. Nanti proyek di AS berhasil, Yudi berniat membangun juga di Indonesia.
Bagaimana kerja reaktor itu? “Nuklir itu inti,” Yudi menjelaskan. Sedangkan atom itu semuanya. Isi dari inti atom itu yang dipecah. Untuk memecahkan, inti atom itu ditembak sehingga menghasilkan energi dari radiasi. Radiasi ini yang dimanfaatkan. Teknologi di Batantek adalah memakai electroplatting dalam uranium pengayaan tingkat rendah.
Melihat pasar radioisotop saat ini, Yudi melihat para pemain industri ini berkisar pada harga US$ 1.000-US$ 1.500 per curie. Meskipun persaingan cukup ketat, Batantek berhasil menjualnya dengan harga paling kompetitif. Apalagi dengan tambahan reaktor yang akan dibangun di AS nanti. Joint venture Batantek dan B&W diklaim dapat menjadi penyokong 80% pasar radioisotop dunia. “2013 menjadi tahun Batantek,” ucapnya yakin.
Reaktor di AS nanti, menurut Yudi, akan menghasilkan 4.400 ci per minggu, dengan pasokan 84 kilowatt daya reaktor. Langkah Bantantek ke AS itu, menurut Yudi, juga diuntungkan dengan kondisi reaktor National Research Universal (NRU) Kanada yang telah berusia 50 tahun.
Ketika hendak ditutup dan diganti dua reaktor baru, ungkap Yudi, ternyata reaktor baru salah desain sehingga dilarang beroperasi. Alhasil, NRU yang menyuplai 60% radioisotop dunia mendeklarasikan untuk berhenti produksi pada 2016. Penutupan reaktor NRU itu, tambah Yudi, juga menjadi salah satu alasan membangun pabrik di AS.
Kini, kebutuhan radioisotop dunia 12.000 ci per minggu. Separuh lebih diserap Amerika. Untuk memenuhi kebutuhan Amerika, suplai radioisotop dipasok perusahaan asal Kanada dan Eropa yang memakai pengayaan tingkat tinggi. “Amerika impor 100%,” ungkap Yudi.
Sejauh ini, radioisotop memiliki pasar sangat besar untuk kedokteran nuklir. Dari total pangsa pasar rumah sakit (RS), AS memiliki 1.500 RS, Filipina 35 RS, Malaysia 28 RS, Thailand 22 RS. “Justru di Indonesia, hanya 12 RS yang memakai,” ujar Yudi.
Radioisotop berumur 66 jam dalam bentuk MO. Lalu diubah menjadi TC99M dengan sebuah generator, baru diberikan kepada pasien. Ketika digunakan ke pasien, umurnya hanya enam jam. Setelah itu, radioisotop hilang tak bersisa. (G.A. Guritno)