Yogyakarta – Sebagian rompi anti radiasi benar-benar tidak nyaman dipakai. Berat dan kurang fleksibel. Harganya pun mahal. Nah, 5 mahasiswa UGM mengembangkan rompi yang nyaman dan murah. Seperti apa?
Wujud barang yang dikembangkan 5 mahasiswa UGM ini disebut apron, semacam rompi anti radiasi. Ini merupakan salah satu alat pelindung yang wajib digunakan pekerja radiasi. Alat yang diciptakan ini mempunyai keunggulan dibandingkan alat di pasaran.
Apron tersebut menggunakan bahan kulit sintetis dengan filler timbal yang ringan dan fleksibel. Alat tersebut diharapkan mampu memproteksi tubuh dari paparan radiasi terutama para pekerja rumah sakit di bagian radiologi.
Kelima orang mahasiswa itu adalah empat mahasiswa Jurusan Teknik Nuklir, Akhmad Aji Wijayanto, Faiz Asyifaa Mohtar, Sita Gandes Pinasti, Firliyani Rahmatia dan satu mahasiswa jurusan Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran, Anggraeni Ayu R.
Akhmad mewakili teman-temannya kepada wartawan di Kampus UGM mengungkapkan apron adalah perlengkapan wajib bagi orang yang bekerja di lingkungan radiasi seperti di unit radiologi rumah sakit dan instalasi nuklir. Meski sudah tersedia di pasaran, kebanyakan apron dijual kurang memperhatikan aspek kenyamanan dan kemudahaan bagi penggunanya.
“Bahannya dari pelat timbal murni, kaku atau mudah bengkok, berat dan kurang fleksibel bila dipakai,” ungkap Akhmad.
Dia bersama teman-teman kemudian melakukan observasi dengan bertanya kepada beberapa petugas di bagian radiologi RSU Dr Sardjito, Yogyakarta. Sebagian besar mereka mengungkapkan ketidaknyamanan bila memakai apron yang tersedia.
“Apron biasanya terbuat dari pelat timbal berlapis kain sehingga berat dan kaku. Tertekuk sedikit saja bengkok tidak bisa kembali ke bentuk awal. Mereka menyatakan kurang nyaman,” kata Akhmad.
Apron yang dibuat di beri nama RADEN (rompi anti radiasi pengion) ini terdiri dari tiga lapisan. Lapisan atas atau luar berupa kulit sintetis. Lapisan tengah merupakan lapisan utama berisikan campuran bahan PVC (Polyvinile Chloride), DOP (Di -2-ethylexy Phthalate) dan serbuk timbal (PbO dan PbCl2). Berikutnya lapisan dasar atau dalam yang berupa kain sebagai penguat apron.
Menurut dia, penggunaan berbagai bahan tersebut menjadikan apron lebih fleksibel dan ringan. Bahkan mampu menekan berat hingga 30 persen dibandingkan dengan apron pada umumnya. Sementara rata-rata apron yang digunakan di rumah sakit memiliki berat hingga 5 kilogram karena pembuatan yang menggunakan bahan berlapis-lapis.
“Kalau harga di pasaran berkisar Rp 2,5 juta/buah. Sedangkan apron buatanya menghabiskan biaya produksi sekitar Rp. 1,5 juta,” katanya.
Apron ciptaan mereka telah dilakukan uji atenuasi gama terhadap berbagai macam variasi komposisi bahan untuk mengetahui kemampuan bahan dalam menyerap radiasi gama dengan sumber Cs-137. Komposisi terbaik dengan nilai koefisien atenuasi terbesar yang selanjutnya digunakan sebagai bahan utama.
“Apron ini mampu menahan paparan energi gama tingkat sedang hingga 662 keV,” kata Akhmad.
Faiz menambahkan selain uji ateunasi gama, juga dilakukan uji tarik dan mulur bahan. Hasilnya diketahui material apron dari kulit sintetis ini memiliki kekuatan tarik sebesar 500 N atau melebihi standar SNI-1294 2009 yaitu sebesar 180 N.
“Kalau kemampuan mulurnya sampai 15 persen. Masih dalam batas standar kemampuan mulur bahan yakni antara 13-20 persen. Jadi apron ini sifatnya lentur dan fleksibel sehingga nyaman dipakai,” papar Faiz.
Faiz berharap apron tersebut dapat mengakomodasi kebutuhan akan apron yang aman terhadap radiasi gama sedang. “Selain kenyaman, karya kami ini bisa memberikan kontribusi positif bagi perkembangan sistem proteksi dan keselamatan radiasi di Indonesia,” pungkas Faiz.
http://news.detik.com/read/2014/07/16/173021/2639256/10/1/mahasiswa-ugm-sukses-kembangkan-rompi-anti-radiasi-yang-nyaman-dan-murah
*ket.: pembimbing: Widya Rosita, ST., MT.